Rabu, 30 April 2008

Abang Tukang Bakso

Bakso bukanlah makanan favorit saya, tapi disini (dibaca: kota malang) memang terkenal dengan baksonya.
Dimana-mana pasti ada saja yang jual bakso.

Ini merupakan pengalaman spiritual saya dengan salah satu diantara sekian banyaknya penjual bakso.

Sore itu saya berada dikost'an adik tingkat saya dikampus.
Kebetulan cacing didalam perut saya minta agar segera mereka diberikan kemerdekaan (emang merdeka itu milik semua mahluk).
Dan temen saya menawarkan untuk membeli bakso didepan kost.

Awalnya saya sempat bimbang untuk membelinya, yach..wajar saja saya sudah diberi nasehat agar mengurangi makan baksonya..karena menurut dokter itu tidak baik untuk kesehatan. Dasar dokter itu selalu saja menghalangi kebebasan kita untuk menikmati hidup ini.
Tapi bukan dokter namanya jika dia tidak memberi nasehat yang baik kepada masyarakat karena itu merupakan tugasnya.

Memang dasar niatnya saya untuk segera memerdekakan diri ini dari belenggu aturan, akhirnya saya beli juga. Enak.. Bos.... Mak Nyuss....

Memang terlalu banyak isu negatif tentang kebersihan dan kesehatan tentang bakso. tapi bukan isu itulah yang menarik saya untuk saya tulis dalam pengalaman saya.
Tapi karena dilandaskan oleh totalitas dari si-penjual sekaligus juragan bakso ini dalam meracik baksonya dan seni menjualnya.
Memang dia bukan orang yang berpendidikan tinggi tapi hatinya menunjukkan moral dan etika yang tinggi melebihi mereka serta termasuk saya yang sekolah tinggi-tinggi.
Bakso yang dijualnyapun berbeda dari penjual lainnya. walau ukuran baksonya lebih kecil dari Bakso yang dijual oleh pedagang lainnya, tetap saja baksonya sold out alias laku terjual.
Sempat tergelitik untuk mengetahui resepnya.

Ternyata resepnya tidak perlu jauh-jauh pergi ke gunung kawi hanya untuk diberkati resep mujarab. kunci utama resepnya ada pada sambalnya.. (Waoooow . pedes banget..)
Walau cabe saat ini mahal tapi dia tetap menjaga kualitas dan kuantitas dari sambalnya..

"jangan sampai sambal itu membuat bakso menjadi tidak enak".
Memang sambal terlihat sepele tapi sambal itupulalah sebagai alat ukur kepuasan konsumen dalam meinkmati semangkok baksonya.
Dia merasa bangga jika sipembeli kepedasan dan makan sambil mencucurkan keringat dan air mata.
Kalau dibayangkan betapa kejamnya bapak itu.
Tapi sebenarnya bapak itu benar2 menikmati apa yang kita nikmati.

Seandainya saya menjadi juragan bakso tersebut untuk apa saya harus turun tangan menjajakan bakso ini.
Tapi dilihat dari sorotan matanya seperti ada sesuatu rasa penasaran akan konsumennya dari hari kehari.

Rasa penasaran yang hanya bisa dinikmati dengan bertemu langsung dengan konsumennya. Rasa ini yang dia nikmati.
Rasa yang penuh akan syukur.
Rasa yang penuh akan kegembiraan.
Rasa yang penuh akan kebanggaan.
Dan rasa yang takkan ia mau gantikan oleh apapun adalah rasa kecukupan.
Rasa kecukupan yang sangat jarang kita rasakan.

Susah untuk mengatakan cukup.
Sehingga mereka yang berbisnis seperti orang yang kesurupuan saja ketika dalam berbisnis. bisnis itu perlu kita simak dan kita hayati.
Jadikan bisnis itu hati kita tapi bukan nafsu kita.

Diatas merupakaan pengalaman saya dan abang tukang bakso.
Selalu saja ada yang tidak setuju dengan refleksi saya diatas.
Temukan jalanmu dalam berbisnis...
Selalu dan tak lupa saya ucapkan selamat bergembira...
No happy... No Business...

ajung aka us3r130d0h


malang
sabtu 19 april 2008
http://unik666.blogspot.com

1 komentar:

ad1_k4r4 mengatakan...

maju terus bakso Indonesia